Kelahiran NU pada dasarnya merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama pesantren di awal abad 20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang demi melestarikan budaya keagamaan kaum muslimin tradisional, di samping kesadaran untuk ikut mengobarkan semangat nasionalisme secara tidak langsung juga menjadi faktor pengaruh di dalamnya, lantaran tekanan pemerintah kolonial pada waktu itu memang dirasakan sudah melewati batas toleransi.
Mulanya, didirikanlah Nahdlatul Wathan tahun 1916 di Surabaya oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur (kelak menjadi tokoh Muhammadiyah). Dua tahun kemudian, bersama KH. Dahlan Ahyad, mereka mendirikan Tashwirul Afkar di kota yang sama. Kedua lembaga ini merupakan wahana pendidikan di bidang agama, keorganisasian, dan perjuangan. Selain itu, di tahun 1918 KH. Abdul Wahab juga mempelopori berdirinya Nahdlatut Tujjar, sebuah lembaga ekonomi yang kemudian diketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha bersama.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, keperluan untuk membentuk organisasi baru mulai dirasakan cukup mendesak ketika dalam kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925 terdengar kabar bahwa penguasa baru tanah Hijaz, Raja Ibnu Sa’ud, hendak menyelenggarakan Muktamar ‘Alam Islami di Makkah pada bulan Juni 1926. Ketidak setujuan Kongres untuk meminta Ibnu Sa’ud agar memberi kebebasan bermadzhab serta menghormati praktek-prektek keagamaan tradisional di negaranya, menyebabkan KH. Wahab Hasbullah dan kawan-kawannya kecewa serta berusaha mencari solusi alternatif. Maka dibentuklah Komite Hijaz untuk mempersiapkan delegasi tersendiri yang akan ditugaskan menemui raja Ibnu Sa’ud demi menyampaikan aspirasi di atas, yang pada tanggal 26 Januari 1926, rapat komite ini melahirkan organisasi baru bernama Nahdlatul Ulama, dengan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar (Pemimpin Besar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar